Mungkin kalian bertanya apa hubungan gayus dengan rule of law ?
Di sini kita akan membahas apa hubungan Gayus dengan Rule of law .
Akan tetapi sebelum itu mari kita lebih dula apa yang terjadi dengan Gayus!
Siapakah gayus itu?
Mungkin banyak dari kalian yang bertanya hal seperti itu .Usianya masih 30 tahun. Tapi sepak terjangnya sudah menggegerkan Mabes Polri. Gayus Halomoan Tambunan, belakangan ini namanya santer disebut sebagai makelar kasus pajak yang ditangani tidak sesuai aturan alias penuh rekayasa. Kasus ini diduga melibatkan sejumlah jenderal di kepolisian.
Namanya pertama kali disebut oleh mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji. Susno menyebutkan Gayus memiliki Rp 25 miliar di rekeningnya, namun hanya Rp 395 juta yang dijadikan pidana dan disita negara. Sisanya Rp 24,6 miliar tidak jelas.
Dalam kasus pajak ini Gayus dibidik Polri dengan 3 pasal, yakni pasal penggelapan, pencucian uang, dan korupsi, namun di persidangan dia hanya dituntut dengan pasal penggelapan. Hakim memvonisnya dengan hukuman 1 tahun percobaan. Belakangan dia dibebaskan.
Uang sebanyak itu tentu saja mengejutkan menilik Gayus hanya pegawai pajak golongan IIIA. Dirjen Pajak Mochmamad Tjiptardjo pun tidak kalah terkejutnya.i
Sebagai perbandingan, gaji PNS golongan IIIA dengan masa jabatan 0 sampai 10 tahun hanya berkisar antara Rp 1.655.800 sampai Rp 1.869.300 per bulan. Namun angka ini belum memperhitungkan tunjangan menyusul adanya remunerasi di Ditjen pajak
Di kantor pusat pajak, Gayus memegang jabatan sebagai Penelaah Keberatan Direktorat Jenderal Pajak. Namun seiring merebaknya kasus markus ini, jabatan Gayus langsung dicopot. Dia kini hanya menjadi pegawai pajak biasa. Seharian kemarin Gayus menjalani pemeriksaan di Direktorat Kepatutan Internal Transformasi Sumbaer Daya Aparatur (KISDA) Pajak.
Sejauh ini Gayus memang masih menjadi pegawai pajak. Ditjen Pajak belum mengambil tindakan memecatnya karena menilai kasusnya masih simpang siur. Rekeningnya juga masih diperiksa, apakah dana itu terkait pekerjaannya atau tidak.
Gayus sendiri sebelumnya menegaskan, uang miliknya sebanyak Rp 395 juta sudah disita karena kasus penggelapan. Sedangkan sisanya yang Rp 24 miliar dibantah untuk bancakan para polisi. Uang itu kata dia ditarik untuk pelaksanaan proyek milik teman bisnisnya yang tinggal di Batam, Andi Kosasih, yang akan membuat ruko di Jakarta Utara.
Gayus mengaku hubungannya dengan Andi sangat dekat sebagai partner bisnis, mulai dari properti, tambang, dan lainnya. Karena itu ia menganggap wajar uang sebesar itu dititipkan kepada dia. Namun Susno Duadji tetap yakin ada praktik markus dalam kasus pajak Gayus Tambunan. Vonis ringan terhadapnya adalah salah satu bukti yang tidak terbantahkan.
Tadi kita sudah melihat siapakah Gayus di sini kita akan membahas hubungan gayus dengan rule of law, yang dilaku para penegak hukum.
Para penegak hukum (Advokat, Notaris, Polisi, Jaksa, dan Hakim) dikritik tidak sepenuhnya memahami tugas utama mereka sebagai "pelayanan hukum dan masyarakat.
Justru sebaliknya mereka mulai mengartikan pekerjaan mereka sebagai bagian dari industri yang dikendalikan keuntungan (profit-driven industry).
Di mata Taufiqurrohman, jabatan Hakim di satu sisi merupakan jabatan yang sangat mulia, dan di sisi lain, jika tidak hati-hati dapat merendahkan martabatnya.
Sebagaimana diketahui jabatan Hakim boleh dikatakan merupakan jabatan yang dekat sekali dengan godaan-godaan duniawi.
"Di tangan seorang Hakim, nasib dan masa depan seseorang akan ditentukan. Orang yang tadinya kaya raya dan terkenal sebagai donator di lingkungannya, bisa tiba-tiba jatuh martabatnya sebagai manusia karena masuk penjara akibat putusan Hakim," papar Taufiqurrohman.
Oleh karena itu, sudah menjadi suatu pandangan umum apabila orang yang berurusan dengan pengadilan akan berusaha semaksimal mungkin, dengan segala cara melakukan segala hal asalkan putusan hakim dapat berpihak kepadanya.
Sedangkan, Darmono melihat lemahnya penegakan hukum di Indonesia, terutama karena dipengaruhi beberapa faktor penyebab. Idealnya, menegakkan supremasi hukum berarti menempatkan hukum sebagai patokan tertinggi berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Tegasnya orientasi penegakan hukum diarahkan untuk mencapai tujuan hukum dan tujuan sosial melalui institusi penegak hukum yang berwenang, berkewajiban, dan bertanggung jawab atas pelaksanaan penegakan hukum. Tapi proses ini tidaklah mudah. Para penegak hukum seringkali bertubrukan dengan hal-hal yang membatasi tugas dan wewenang mereka dalam melakukan penegakan hukum.
Di mata Taufiqurrohman, jabatan Hakim di satu sisi merupakan jabatan yang sangat mulia, dan di sisi lain, jika tidak hati-hati dapat merendahkan martabatnya.
Sebagaimana diketahui jabatan Hakim boleh dikatakan merupakan jabatan yang dekat sekali dengan godaan-godaan duniawi.
"Di tangan seorang Hakim, nasib dan masa depan seseorang akan ditentukan. Orang yang tadinya kaya raya dan terkenal sebagai donator di lingkungannya, bisa tiba-tiba jatuh martabatnya sebagai manusia karena masuk penjara akibat putusan Hakim," papar Taufiqurrohman.
Oleh karena itu, sudah menjadi suatu pandangan umum apabila orang yang berurusan dengan pengadilan akan berusaha semaksimal mungkin, dengan segala cara melakukan segala hal asalkan putusan hakim dapat berpihak kepadanya.
Sedangkan, Darmono melihat lemahnya penegakan hukum di Indonesia, terutama karena dipengaruhi beberapa faktor penyebab. Idealnya, menegakkan supremasi hukum berarti menempatkan hukum sebagai patokan tertinggi berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Tegasnya orientasi penegakan hukum diarahkan untuk mencapai tujuan hukum dan tujuan sosial melalui institusi penegak hukum yang berwenang, berkewajiban, dan bertanggung jawab atas pelaksanaan penegakan hukum. Tapi proses ini tidaklah mudah. Para penegak hukum seringkali bertubrukan dengan hal-hal yang membatasi tugas dan wewenang mereka dalam melakukan penegakan hukum.
Penegakan hukum masih sulit dilakukan saat ini karena masih banyak praktik-praktik penyalahgunaan wewenang penegak hukum, masih banyak campur tangan pejabat, penguasa, kekuasaan politik dalam penegakan hukum," papar Darmono.
"Selain itu, penyelesaian masalah atau kasus yang tidak tuntas. Masih adanya intervensi lembaga penegak hukum yang satu terhadap lembaga penegak hukum lainnya, dan penegakan hukum yang tidak didasarkan atas dasar prinsip kejujuran dan keadilan, tapi atas dasar faktor atau pengaruh lain," imbuhnya.
Darmono lalu mengambil contoh kasus mafia perpajakan Gayus Tambunan. Rabu (19/1) kemarin, vonis hakim akhirnya dijatuhkan kepada Gayus. Hakim menghukum Gayus selama tujuh tahun penjara dan denda Rp300 juta. Bagi masyarakat, ada kesan tuntutan itu lemah dan dianggap tidak menyelesaikan kasus mafia pajak secara tuntas.
"Dalam perkara Gayus ada perkara lain yang lebih besar. Pastinya akan ada hukuman tambahan lagi bagi Gayus untuk kasus-kasus besar lainnya. Kita akan ungkap secara tuntas. Tapi untuk vonis yang dijatuhkan, hakim telah bekerja dan menjalankan sesuai profesionalisme dan etikanya," terang Darmono.
Solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut tentu saja perlunya dilakukan perbaikan menyeluruh pada Standar Operating Procedure (SOP). Perbaikan ini juga diikuti dengan perbaikan kesejahteraan para penegak hukum. Meski itu juga belum menjamin berhasilnya penegakan hukum.
Sedangkan pembicara lain, Fauzie melihat lemahya penegakan hukum karena disebabkan faktor kepemimpinan presiden yang memimpin Indonesia saat ini. "Presiden membias, jadinya membuat penegakan hukum tidak maksimal," pungkas Fauzi.
Fauzie lalu menambahkan sebagai salah satu penegak hukum, Advokat juga ingin menegakkan hukum dan keadilan untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan. Advokat tidak boleh melanggar hukum, sehingga apabila kliennya menawarkan menggunakan keterangan atau kesaksian palsu dalam rangka pembelaan, advokat harus menolaknya.
"Praktiknya banyak hambatan-hambatan untuk mewujudkan prinsip peradilan yang bebas, independensi serta terciptanya sistem peradilan yang bersih dari tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Hal ini disebabkan karena diantara penegak hukum belum dapat berinteraksi sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam mewujudkan ketertiban hukum dan keadilan di dalam institusi peradilan dengan tetap menjaga rule of law," pungkas Fauzie. (OL-12)
"Selain itu, penyelesaian masalah atau kasus yang tidak tuntas. Masih adanya intervensi lembaga penegak hukum yang satu terhadap lembaga penegak hukum lainnya, dan penegakan hukum yang tidak didasarkan atas dasar prinsip kejujuran dan keadilan, tapi atas dasar faktor atau pengaruh lain," imbuhnya.
Darmono lalu mengambil contoh kasus mafia perpajakan Gayus Tambunan. Rabu (19/1) kemarin, vonis hakim akhirnya dijatuhkan kepada Gayus. Hakim menghukum Gayus selama tujuh tahun penjara dan denda Rp300 juta. Bagi masyarakat, ada kesan tuntutan itu lemah dan dianggap tidak menyelesaikan kasus mafia pajak secara tuntas.
"Dalam perkara Gayus ada perkara lain yang lebih besar. Pastinya akan ada hukuman tambahan lagi bagi Gayus untuk kasus-kasus besar lainnya. Kita akan ungkap secara tuntas. Tapi untuk vonis yang dijatuhkan, hakim telah bekerja dan menjalankan sesuai profesionalisme dan etikanya," terang Darmono.
Solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut tentu saja perlunya dilakukan perbaikan menyeluruh pada Standar Operating Procedure (SOP). Perbaikan ini juga diikuti dengan perbaikan kesejahteraan para penegak hukum. Meski itu juga belum menjamin berhasilnya penegakan hukum.
Sedangkan pembicara lain, Fauzie melihat lemahya penegakan hukum karena disebabkan faktor kepemimpinan presiden yang memimpin Indonesia saat ini. "Presiden membias, jadinya membuat penegakan hukum tidak maksimal," pungkas Fauzi.
Fauzie lalu menambahkan sebagai salah satu penegak hukum, Advokat juga ingin menegakkan hukum dan keadilan untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan. Advokat tidak boleh melanggar hukum, sehingga apabila kliennya menawarkan menggunakan keterangan atau kesaksian palsu dalam rangka pembelaan, advokat harus menolaknya.
"Praktiknya banyak hambatan-hambatan untuk mewujudkan prinsip peradilan yang bebas, independensi serta terciptanya sistem peradilan yang bersih dari tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Hal ini disebabkan karena diantara penegak hukum belum dapat berinteraksi sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam mewujudkan ketertiban hukum dan keadilan di dalam institusi peradilan dengan tetap menjaga rule of law," pungkas Fauzie. (OL-12)
oleh Irma Olivia/8H
No comments:
Post a Comment